Sabtu, 10 Maret 2012

Bawah Pohon (Jilid I)

Alkisah, di sudut-sudut batang pepohonan nan besar seorang anak sedang berdiri berkeling lalu lalang di bawahnya. Sinar matahari tepat di atas bukit pepohonan tak luput menembus dedaunan dan mengenai anak itu. Detik berdetak, demi menit berjalan tak ada perubahan. Tetap saja berkeliling dari satu pucuk pohon ke pucuk yang lain. Dengan tubuhnya yang kurus, dengan kedua pipinya yang lesung dan kedua tangannya yang terus terlambai-lambai bak tak merasakan keletihan dan sengatan terik matahari. Tak dihiraukan. Anak itu terus bergerak ke arah satu ke arah yang lainnya. Memang, jika dilihat dari arah yang berlainan bisa dibilang anak itu cukup manis. Dengan hidungnya yang mancung, muka yang menunduk ke atas dan kebawah, serta rambutnya yang cepak berantakan itu yang dapat terlihat. Seolah deretan pepohonan satu persatu di depannya menyambutnya dengan sapaan dan senyumannya. Angin sejuk yang berhembus tak mau berhenti menghantam ranting dan dedaunan hingga terjatuh berkala.
            Selalu berpikir oleh anak itu untuk bisa terbang seperti burung-burung yang bebas setiap saat kapanpun bisa melakukannya sekehendak hati. Terpikir oleh anak itu, jika ku bisa terbang ku kan menggapai bulan di malam hari nanti. Akan kutemui bulan, kupeluk dia, dan pegang erat badannya sampai ku tak mau lepaskan. Hanya menjadi harapan dan selalu berharap semua itu bakal terwujud. Walau semua itu hanya imajinasi dan khayalan yang tak mungkin terjadi. Tetapi, anak itu tetap tersenyum manis seperti akan menggapai impiannya itu.
            Hingga hari menjelang sore, anak itu tetap berlari tak tahu arah ke mana ia akan berhenti. Layaknya sebuah kereta dengan banyak terminal-terminal, namun tak tahu terminal mana yang akan menjadi tujuannya. Yah, berjalan tanpa ada tujuan yang pasti bisa dibilang begitu. Tetap saja ia tak peduli, tak menghiraukan serasa tak memiliki beban. Mungkin karena pikirannya yang kosong telah membelenggu olehnya. Semakin lama waktu berjalan, semakin lambat detakan langkah kakinya. Jangkauan kaki yang panjang menjadi pendek. Bermula cepat menjadi lambat. Mungkin rasa lelah mulai menggandrunginya. Hampir satu jam ia berlari, akhirnya putus di bawah pohon rindang yang besar ia duduk di bawahnya. Sekedar ia menjulurkan kaki dan tangannya yang mulai rewel akan keletihan dan kepanasan membuat anak itu menjatuhkan badannya tepat di bawahnya. Mungkin karena lelah berlari sepanjang waktu hingga ia terjatuh. Namanya juga manusia biasa, seperti kita. Sering merasa lelah dan letih sehabis beraktifitas. Cuma yang membedakan hanya bentuk aktifitas dan daya ketahanan tubuh saja. Cuma lebih uniknya, anak itu berlari tanpa ada tujuan dan arah yang pasti.

Jogja,  10 Maret 2012 

0 Comments:

Posting Komentar