Jumat, 27 Maret 2015

Rintihan Perlawanan


Rintik air membasahi bumi Jogjakarta. Kala itu musim penghujan tiba, deras mengguyur tanpa ada belas kasih. Sepintas lalu lalang kendaraan berhenti sejenak untuk menepi. Tak sedikit pula rela menerjang hamparan air, entah karena terdesak atau sekedar bermain-main. Segelintir orang tampak menepikan kendaraanya. Tepat di sudut bangunan tua yang sudah tak terpakai. Salah satu diantaranya tengah sibuk membereskan beberapa kertas lusuh bertuliskan kata-kata. Dengan harapan, kata-kata tersebut kelak mendapat perhatian petinggi untuk merubah keadaan negeri ini. Baginya, kata-kata ini berarti penting, tidak untuk dirinya tetapi juga saudara sebangsanya. Sesekali ia mengepakkan kertas yang basah akibat hujan. Pakaian lusuh yang ia kenakan tak luput untuk sekedar mengeringkan kata-kata sakral bak suara Tuhan.
Sebut saja Rosikin. Meski usia sudah udzhur dan sudah bau tanah, ia tetap terus menggelontorkan semangat hidup. Badannya yang kurus, sandangannya tampak usang dipenuhi bercak coklat. Harap maklum, seharian ini ia berkeliling kota meneriakkan panji-panji revolusi. Sebelum hujan tiba. Dengan wajah pucat, sambil mengusap,  ia terus membayangkan bagaimana kaum tertindas bisa bangkit melawan kebijakan kepentingan. Sedangkan para borjuis bersuka cita menikmati hasil kekayaan dan kekuasaan. Meski orang lain akan menganggap demikian seperti ilusi, tapi tidak baginya ia tetap berpikir dan memilih jalan mengarungi jalan terjal yang sesungguhnya belum tentu mendapat hasil. Bergumamlah ia dalam hatinya, ”Setidaknya aku sudah berjanji untuk menyerahkan sepenuhnya jiwa raga ini untukmu bangsaku. Sekalipun, harus melewati deburan ombak yang ganas ku harus tetap menahan derasan air yang keras.”gumamnya
Selang beberapa waktu, hujan masih tetap mengguyur. Hanya saja, kali ini rintik-rintik masih tetap bersiteguh seakan tak mau hengkang dari wilayah ini. Beberapa diantaranya mulai berani keluar dari sangkar hujan. Sedangkan Rosikin masih sibuk berdebat dalam naungan diri, perlu tidaklah menerjang lautan air. Tentu, jika ia nekat coretan yang telah ia buat dengan jerih payahnya akan kembali terkotori. Belum lagi, pakaian yang ia kenakan hanyalah satu-satunya yang bersih. Bahkan ia selalu terpikir akan rumah. Ingin rasanya segera kembali ke rumah. Desus-desus itu selalu menghantui, apalagi di saat cuaca seperti ini. Tentu, anak istri akan mencari dan sibuk menalangi deretan ember-ember akibat titik-titik lubang dari dinding atap.
Seorang aktivis sekalipun akan berpandangan demikian. Keresahan yang tiada ujung pangkalnya. Masalahnya, pengrobanan mana yang akan dia ambil. Nyawapun bisa menjadi taruhan. Pengorbanan harus dikobarkan tanpa memandang itu penting atau tidak bagi keuntungan pribadi. Begitulah gambaran catatan seorang aktivis masa lalu. Relevankah untuk saat ini? Barangkali, pemandangan tersebut berbeda, acapkali bertolakbelakang.
“Memilih jalan banyak pilihan, menjadi seorang aktivis tidak mudah. Beban moral ada di pundak, meski amanah ini sering diabaikan oleh sebagian besar orang, bahkan untuk mereka kaum terpelajar.”rintihnya dalam hati
 Aktivis terpelajar atau pun bukan, bukan menjadi persoalan. Tanggung jawab tetap ada pada setiap nadi manusia. Menggerakan diri melawan penindasan, kekuasaan, atau kepentingan. Adalah hal utama yang mutlak untuk dikerjakan. Bukan didiamkan. Sungguh beban amanat yang besar, lebih besar dari tanggungjawab perseorangan atau kelompok. Karena menyangkut kemaslahatan umat manusia.
Ia kemudian memberanikan diri berdiri mengayuhkan sepeda tua yang sudah rapuh, tapi tak serapuh dirinya. Jati diri kuat tertanam dalam diri. Berkeliling, hilir mudik ditemani rintik hujan, ia terus berjalan menyuarakan aspirasi. Biarkan hujan ini menjadi saksi bisu akan perjuangan yang dilakoninya. Kembali ia berharap, kelak hujan bisa membawa pesan, membawa kabar baik bagi negeri. Ibarat pesan suci yang harus segera disampaikan kepada leluhur-lelehurnya untuk memperbaiki segala keinginan hamba-Nya.[]
Read More