Persoalan
kekerasan masih menjadi masalah yang dominan di negeri ini. Belum genap
maraknya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, kini giliran anak menjadi
target bejat dari para orang tua juga lingkungannya. Kekerasan terhadap anak
bisa berupa fisik, psikologi hingga seksualitas yang menjadi puncak aksi
kejahatan bejat oleh orang tua atau lingkungannya. Kondisi anak yang rentan
memudahkan tindakan kekerasan dilakukan.
Mengutip
dari replublika.co.id (9 Maret 2013), kekerasan dari tiap tahunnya terus
meningkat. Sebut saja, tahun 2011 mencapai angka 2509. Tahun 2012 angka
tersebut melejit hingga 2637. Diprediksi, tahun ini kekerasan terhadap anak
akan terus meningkat. Sebanyak 62% diantaranya, didominasi oleh kekerasan
seksual. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya UU terhadap perlindangan anak
masih belum mampu mengcover segelintir persoalan aksi kekerasan yang masih
tumpang tindih karena sulitnya mengawasi pola dan literatur budaya pengajaran
terhadap anak.
Krisis moralitas
Kekerasan
yang terjadi selama ini menjadi indikasi krisisnya moralitas di negeri.
Bagaiamana tidak, orang tua yang semestinya bisa menjadi panutan, tercoreng
dengan perlakuan oknum kebiadaban orang tua. Lingkungan yang semestinya menjadi
sarana interaksi anak dalam pertumbuhan, berbalik menjadi jurang bahaya tindak
kekerasan. Sebagai contoh yang dialami Vina (5), seorang anak yang tewas
dianiaya ibunya di desa Curug, Cibinong dengan cara ditampar dan didorong
hingga kepalanya tebentur dan tewas seketika pertengahan maret silam. Kasus
lain, kisah kekerasan seksual yang menimpa ZC anak berusia 9 tahun harus
menanggung beban kebiadaban ayah kandungnya sendiri.
Moral
dipertaruhkan hanya untuk memperoleh kesenangan sesaat, buah pelampiasan kemarahan
semata, hingga ajang balas dendam. Rapuhnya akhlak, lemahnya iman segala bentuk
perbuatan keji, mampu mengubah segalanya menjadi mudah. Hawa nafsu tak bisa
ditekan, amarah dan dendam tak bisa dikendalikan, anak sering menjadi objek
percobaan pelampiasan tersebut. Akibatnya, tidak hanya efek fisik tetapi juga
psikologis. Trauma, bentuk salah satu dampak yang paling dominan. Anak menjadi
takut kepada orang tua, guru juga tak mau bergaul dengan lingkungannya karena
terhambat oleh lingkungan yang dianggap “keras”. Tak bisa dipungkiri pula, anak
sebagai generasi bangsa akan hancur bila di masa transisi pertumbuhannya harus mengalami kepentingan sepele. Hal tersebut
juga ditunjang dengan rapuhnya sendi-sendi psikologis anak, anak lebih peka
untuk mengikuti segala bentuk apa yang di lingkungannya, masih belum mengenal
jauh apa itu konteks “baik” dan “buruk”.
Persoalan global
Kekerasan,
bukanlah persoalan yang mudah untuk dicari solusinya. Tentu, hal ini persoalan
global yang harus dituntaskan. Mengingat asal mula kekerasaan bertolak dari
orang tua dan lingkungannya, maka peran kerabat dan masyarakat sangat
dibutuhkan dalam meniminalisir aksi tindak kejahatan anak.[]
0 Comments:
Posting Komentar