Rabu, 10 April 2013

Wajah Perpolitikan (?)


Istilah politik sering kita dengar dan temui ketika menjelang pemilihan umum (Pemilu). Politik juga menjadi momok setiap negara, khususnya untuk negara demokrasi. Tanpa adanya politik, negara akan hancur karena politik berperan dalam mengisi dan mengatur pemerintahan. Oleh karena itu, politik sangat penting dalam sebuah negara.
Secara harfiah, teori klasik Aristoteles, politik menjadi jalan yang ditempuh untuk mewujudkan kebaikan bersama. Hal ini selaras dengan UU No 2 Tahun 2008, politik sebagai alat meraih cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan politik di internal partai, rakyat, bangsa maupun negara. Politik sebagai bagian dalam demokratisasi negara, yang melatarbelakangi untuk kepentingan publik dan kemajuan bersama.
Namun, istilah politik kini dikenal sebagai suatu yang kotor, dinilai buruk, menyesatkan, dan berbau korupsi. Pelaksanaan politik yang disalahgunakan dan tidak berideologi mengubah pandangan masyarakat yang semula politik sangat dibutuhkan untuk menyejahterakan rakyatnya, namun menjadi rusak hingga hanya menimbulkan masalah dan menyusahkan masyarakat saja, bahkan membuat derita yang berkepanjangan.
Memang, pada dasarnya, menurut pakar psikologis politik menyebutkan bahwa politik itu hanya sebuah alat untuk menyalurkan naluri kebinatangan. Naluri yang timbul dari sifat-sifat binatang, layaknya perilaku politik tak beda dengan binatang. Yang pertama, politik sebagai alat untuk menghancurkan orang lain. Hal ini terbukti dengan realita dunia perpolitikan negeri ini. Persaingan antar pejabat politik yang makin sengit, berujung pada penjatuhan martabat dan saling tuding kesalahan. Isu-isu di media turut menjadi spirit warna dalam menjatuhkan lawannya, mengingat adanya perpolitikan di media.
Kedua, politik sebagai alat untuk mengeruk harta negara sebanyak-banyak. Melalui politik, para pejabat politik dengan gampangnya mencuri dan menumpuk “uang rakyat” bagai tikus berkeliaran di sarang pemerintahan demi kepentingannya sendiri. Alangkah ironisnya kondisi pemerintahan saat ini, maraknya kasus korupsi di negeri, baik itu dari pejabat-pejabat tinggi hingga pejabat daerah. Anehnya, kondisi semacam ini hanya menjadi “tontonan” tanpa ada tindakan hukum yang tegas untuk mereka.
Kekuasaan dalam politik dipermainkan, pejabat berlomba-lomba dalam korupsi, suap-menyuap menjadi tradisi, hiruk pikuk tekanan budaya konsuerisme di lingkungan pejabat serta rasa ketidakpuasan pejabat untuk mencari sesuatu yang lebih. Uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, dikuras oleh oknum pejabat yang tak bertanggung jawab.
Ketiga, mencari segala cara untuk memperoleh kemenangan. Istilahnya adalah menghalalkan segala cara. Misalkan, ketika dalam menjelang pemilihan umum, oknum-oknum parpol menggunakan cara yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan cara melakukan politik uang, memberikan embel-embel atau janji, baik berupa barang maupun uang tunai dengan berdalih mau memilih salah satu calon kandidat. Bahkan, ada sebagian langsung menyuruh ke kepala daerah atau kepala setempat yang memiliki peranan penting dalam wilayah itu untuk mengajah dan memudahkan dalam memperoleh suara. Dengan tambahan “uang haram” berlebih jika memperoleh kemenangan dalam pemilihan tersebut.
Keberadaan fungsi politik telah melenceng dari kittahnya sebagai alat perjuangan dalam mengaspirasikan rakyat. Politik tak lagi menjadi jalan tempuh untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan pribadi dan parpolnya. Refleksi politik sangat perlu dilakukan dalam meninjau kembali dalam memperbaiki fungsi politik ke dalam ranah yang semestinya.[]

0 Comments:

Posting Komentar