Istilah politik sering kita
dengar dan temui ketika menjelang pemilihan umum (Pemilu). Politik juga menjadi
momok setiap negara, khususnya untuk negara demokrasi. Tanpa adanya politik,
negara akan hancur karena politik berperan dalam mengisi dan mengatur
pemerintahan. Oleh karena itu, politik sangat penting dalam sebuah negara.
Secara
harfiah, teori klasik Aristoteles, politik menjadi jalan yang ditempuh untuk
mewujudkan kebaikan bersama. Hal ini selaras dengan UU No 2 Tahun 2008, politik
sebagai alat meraih cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan politik di
internal partai, rakyat, bangsa maupun negara. Politik sebagai bagian dalam
demokratisasi negara, yang melatarbelakangi untuk kepentingan publik dan
kemajuan bersama.
Namun, istilah politik kini
dikenal sebagai suatu yang kotor, dinilai buruk, menyesatkan, dan berbau
korupsi. Pelaksanaan politik yang disalahgunakan dan tidak berideologi mengubah
pandangan masyarakat yang semula politik sangat dibutuhkan untuk
menyejahterakan rakyatnya, namun menjadi rusak hingga hanya menimbulkan masalah
dan menyusahkan masyarakat saja, bahkan membuat derita yang berkepanjangan.
Memang, pada dasarnya,
menurut pakar psikologis politik menyebutkan bahwa politik itu hanya sebuah
alat untuk menyalurkan naluri kebinatangan. Naluri yang timbul dari sifat-sifat
binatang, layaknya perilaku politik tak beda dengan binatang. Yang pertama, politik sebagai alat untuk
menghancurkan orang lain. Hal ini terbukti dengan realita dunia perpolitikan
negeri ini. Persaingan antar pejabat politik yang makin sengit, berujung pada
penjatuhan martabat dan saling tuding kesalahan. Isu-isu di media turut
menjadi spirit warna dalam menjatuhkan lawannya, mengingat adanya perpolitikan
di media.
Kedua, politik sebagai alat untuk mengeruk harta negara
sebanyak-banyak. Melalui politik, para pejabat politik dengan gampangnya
mencuri dan menumpuk “uang rakyat” bagai tikus berkeliaran di sarang
pemerintahan demi kepentingannya sendiri. Alangkah ironisnya kondisi
pemerintahan saat ini, maraknya kasus korupsi di negeri, baik itu dari
pejabat-pejabat tinggi hingga pejabat daerah. Anehnya, kondisi semacam ini
hanya menjadi “tontonan” tanpa ada tindakan hukum yang tegas untuk mereka.
Kekuasaan
dalam politik dipermainkan, pejabat berlomba-lomba dalam korupsi, suap-menyuap
menjadi tradisi, hiruk pikuk tekanan budaya konsuerisme di lingkungan pejabat
serta rasa ketidakpuasan pejabat untuk mencari sesuatu yang lebih. Uang negara
yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, dikuras oleh oknum
pejabat yang tak bertanggung jawab.
Ketiga, mencari segala cara untuk memperoleh kemenangan. Istilahnya
adalah menghalalkan segala cara. Misalkan, ketika dalam menjelang pemilihan
umum, oknum-oknum parpol menggunakan cara yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Dengan cara melakukan politik uang, memberikan embel-embel
atau janji, baik berupa barang maupun uang tunai dengan berdalih mau memilih
salah satu calon kandidat. Bahkan, ada sebagian langsung menyuruh ke kepala
daerah atau kepala setempat yang memiliki peranan penting dalam wilayah itu
untuk mengajah dan memudahkan dalam memperoleh suara. Dengan tambahan “uang
haram” berlebih jika memperoleh kemenangan dalam pemilihan tersebut.
Keberadaan
fungsi politik telah melenceng dari kittahnya sebagai alat perjuangan dalam
mengaspirasikan rakyat. Politik tak lagi menjadi jalan tempuh untuk kepentingan
bersama, melainkan kepentingan pribadi dan parpolnya. Refleksi politik sangat
perlu dilakukan dalam meninjau kembali dalam memperbaiki fungsi politik ke
dalam ranah yang semestinya.[]
0 Comments:
Posting Komentar