Sila kelima Pancasila berbunyi
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi “ruh” keadilan negeri
ini. Hukum dibentuk atas dasar untuk menjunjung tinggi asas-asas keadilan yang
ditujukan untuk masyarakat tanpa memandang subyek. Plato juga menegaskan bahwa
negara yang ideal didasarkan pada nilai keadilan, dengan tujuan membentuk
keharmonisan. Sedang keharmonisan diartikan sebagai perjalanan hidup serasi
sesuai dengan tujuan negara atau populis.
Keadilan menjadi cermin sebuah kesuksesan
negara dalam menangani masalah hukum. Tetapi tidak bagi negeri ini, keadilan
masih dianggap fatamorgana yang harus diperjuangkan. Kendati masalah hukum yang
tak lagi independent, telah berpaling dan memihak. Dengan mudahnya, penyalahgunaan
kekuasaan serta dukungan materiil dapat memanipulasi hukum. Hukum yang harusnya
berjalan dengan semestinya mengalami kendala dan dibuat berbelit-belit.
Akibatnya kasus hukum sulit untuk dituntaskan.
Sebagai contoh dalam kasus kecelakaan
putra bungsu Menteri Perekonomian, M Rasyid Amrullah Rajasa yang menewaskan dua
orang di Tol Jagorawi awal tahun silam. Kasus yang menimpa anak pejabat ini,
mendapat perlakukan istimewa seperti keluyuran bermain futsal dan nontong
wayang saat menyandang status terdakwa. Hukuman yang diberikan pun tak setimpal
dengan perbuatannya, hanya mendapat hukuman 8 bulan dengan masa percobaan 12
bulan.
Kasus lain seperti Angelina Sondakh
dalam kasus korupsi Wisma Atlet yang hanya mendapat hukuman 4,5 tahun penjara
dan denda 250 juta rupiah jauh lebih rendah dengan harapan Jaksa Penuntut Umum
selama 12 tahun penjara. Itu belum termasuk remisi-remisi yang diberikan pihak
LP, tentunya akan mengurangi masa tahanan.
Sisi lain, kasus pencurian sandal
Jepit milik Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Sipayun yang dilakukan seorang siswa
SMK di Palu menerima hukuman 5 tahun penjara. Hal ini mendapat kecaman spontan
dari berbagai pihak, bahkan lingkup internasional. Perlakuan hukum yang dinilai
hanya diperuntukkan bagi rakyat kecil, sebuah potret bentuk kastanisasi hukum
antara pemilik kekuasaan dan rakyat tertindas.
Apalah daya jika hukum tidak berjalan
dalam ranahnya. Ideologi Pancasila yang menjadi harapan dan arah dalam
menjunjung tinggi asas keadilan hanyalah sebuah simbol belaka tanpa ada
perwujudan yang realistis. Undang-Undang pun selama masih dipegang oleh para
penguasa, keadilan tak akan terwujud mengingat posisi mereka yang
menguntungkan. Sedang rakyat kecil hanya bisa mengikuti perintah hukum. Sikap
apatisme masyarakat terhadap ketidakadilan hukum menjadi permasalahan baru
dalam memperjuangkan hak keadilan.
Semestinya hukum bisa menjadi “real
justice” bukan sekedar utopis. Hukum dibuat untuk menegakkan keadilan bukan
alat kepentingan pribadi. Perbaikan hukum maupun Undang-Undang harus mengundang
efek jera bagi pelakunya sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Hukum
harus dibuat seadil-adilnya tanpa diskriminasi, pengkastaan atau persenjangan
kelas. Hukum harus dilaksanakan secara utuh dan tegas tanpa memandang latar
belakang pelakunya.
0 Comments:
Posting Komentar