Rabu, 13 Maret 2013

Kastanisasi Hukum





Sila kelima Pancasila berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi “ruh” keadilan negeri ini. Hukum dibentuk atas dasar untuk menjunjung tinggi asas-asas keadilan yang ditujukan untuk masyarakat tanpa memandang subyek. Plato juga menegaskan bahwa negara yang ideal didasarkan pada nilai keadilan, dengan tujuan membentuk keharmonisan. Sedang keharmonisan diartikan sebagai perjalanan hidup serasi sesuai dengan tujuan negara atau populis.
Keadilan menjadi cermin sebuah kesuksesan negara dalam menangani masalah hukum. Tetapi tidak bagi negeri ini, keadilan masih dianggap fatamorgana yang harus diperjuangkan. Kendati masalah hukum yang tak lagi independent, telah berpaling dan memihak. Dengan mudahnya, penyalahgunaan kekuasaan serta dukungan materiil dapat memanipulasi hukum. Hukum yang harusnya berjalan dengan semestinya mengalami kendala dan dibuat berbelit-belit. Akibatnya kasus hukum sulit untuk dituntaskan.
Sebagai contoh dalam kasus kecelakaan putra bungsu Menteri Perekonomian, M Rasyid Amrullah Rajasa yang menewaskan dua orang di Tol Jagorawi awal tahun silam. Kasus yang menimpa anak pejabat ini, mendapat perlakukan istimewa seperti keluyuran bermain futsal dan nontong wayang saat menyandang status terdakwa. Hukuman yang diberikan pun tak setimpal dengan perbuatannya, hanya mendapat hukuman 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan.
Kasus lain seperti Angelina Sondakh dalam kasus korupsi Wisma Atlet yang hanya mendapat hukuman 4,5 tahun penjara dan denda 250 juta rupiah jauh lebih rendah dengan harapan Jaksa Penuntut Umum selama 12 tahun penjara. Itu belum termasuk remisi-remisi yang diberikan pihak LP, tentunya akan mengurangi masa tahanan.
Sisi lain, kasus pencurian sandal Jepit milik Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Sipayun yang dilakukan seorang siswa SMK di Palu menerima hukuman 5 tahun penjara. Hal ini mendapat kecaman spontan dari berbagai pihak, bahkan lingkup internasional. Perlakuan hukum yang dinilai hanya diperuntukkan bagi rakyat kecil, sebuah potret bentuk kastanisasi hukum antara pemilik kekuasaan dan rakyat tertindas.
Apalah daya jika hukum tidak berjalan dalam ranahnya. Ideologi Pancasila yang menjadi harapan dan arah dalam menjunjung tinggi asas keadilan hanyalah sebuah simbol belaka tanpa ada perwujudan yang realistis. Undang-Undang pun selama masih dipegang oleh para penguasa, keadilan tak akan terwujud mengingat posisi mereka yang menguntungkan. Sedang rakyat kecil hanya bisa mengikuti perintah hukum. Sikap apatisme masyarakat terhadap ketidakadilan hukum menjadi permasalahan baru dalam memperjuangkan hak keadilan.
Semestinya hukum bisa menjadi “real justice” bukan sekedar utopis. Hukum dibuat untuk menegakkan keadilan bukan alat kepentingan pribadi. Perbaikan hukum maupun Undang-Undang harus mengundang efek jera bagi pelakunya sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Hukum harus dibuat seadil-adilnya tanpa diskriminasi, pengkastaan atau persenjangan kelas. Hukum harus dilaksanakan secara utuh dan tegas tanpa memandang latar belakang pelakunya.


0 Comments:

Posting Komentar