Minggu, 06 Oktober 2019

Hitam Putih Sekat Pembawa Petaka



Aku berkulit hitam, bukan orang Papua apalagi Minang. Suku jawa tulen ada dalam naluri kehidupanku. Kadang orang memandang sebelah mata bahwa orang berkulit hitam memiliki kesan dekil, kumuh, jelek, kurang menarik untuk dipandang. Orang yang memandang demikian, menganggap mereka adalah bagian dari sempurna karena merasa berkulit bersih dan putih, wajah yang rupawan, menarik untuk diperhatikan. Rasa acuh yang kumiliki lantas menjadi pedang untuk menebas kata itu. Meskipun terkadang, rasa sakit datang menerpa dengan melemparkan kata-kata pedas tiada henti. Rasa dendam dan amarah selalu kucoba untuk diredam, meski harus terpaksa. Cara keras juga tak akan menyelesaikan perkara, justru akan membawa petaka baru.
Barangkali perasaan yang demikian juga dialami oleh kawan-kawan dari Papua. Belakangan ini, media memberitakan persoalan sara yang menerpa diri mereka. Dimulai dari persoalan pembuangan bendera sang saka merah putih di selokan di kala jelang kemerdekaan ke-74 ini, membuat geram masyarakat untuk menindaknya. Persoalan tersebut kemudian memuncak saat berita hoax menghampiri mereka sehingga memperkeruh suasana. Alhasil, fasilitas umum dirusak, para pendatang dan warga pribumi saling bersiteru, pembunuhan massal pun terjadi. Fenomena demikian lantas menjadi pukulan berat bagi kedewasaan bangsa ini untuk dapat bersikap bijaksana dalam menyikapi persoalan itu. Kejahatan kemanusiaan tidak akan terbendung selama masih ada urat kebencian dalam diri mereka.
Segelintir golongan yang mengatasnamakan komunitas atau gerakan penggiat NKRI, lantas tak terima dengan perlakuan tersebut, mungkin dengan terpaksa melontarkan kata-kata sara yang menimbulkan demonstrasi yang cukup luar biasa di daerah tinggalnya maupun daerah lainnya. Adapula isu hoax sara yang mengundang mereka, entak benar atau salah yang membuat dirinya terluka sehingga pecah sudah amarah, emosi hingga dilampiaskan dan menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Kericuhan pun terjadi dengan dalih alasan kata-kata sara yang membuat diri mereka bergerak untuk menyuarakan aspirasi, meskipun dalam realitasnya aspirasi tersebut dianggap kurang beretika karena merusak fasilitas negara yang justru akan merugikan mereka sendiri. Kecewa tentu ada karena permasalahan yang sebetulnya hanya sepele.
Kegelisahan ini tentu menggoyahkan estabilitas bangsa ini. Terlebih di tengah benteng demonstrasi mahasiswa, menyuarakan aspirasi rakyat di berbagai daerah kian memperkeruh masalah di awal kepemimpinan di level eksekutif dan legislatif.

Kita berharap peristiwa memilukan itu dapat segera mereda dan yang akan datang tidak akan terjadi kembali selama kedewasaan masyarakat kita tetap terjaga. Ada baiknya setaip kesalahan dilakukan secara musyawarah dan terbuka, tidak langsung menghakimi seseorang lantas kegaduhan terjadi. Saya yakin, masyarakat Papua adalah masyarakat yang cerdas, cinta damai, dewasa. Yang berbuat demikian hanya segelintir oknum yang bermain, tentu perihal tersebut dapat menjadi pekerjaan bersama untuk bisa bertabayun, artinya persoalan yang semestinya dapat terselesaikan secara personal dapat dituntaskan.


0 Comments:

Posting Komentar