Rintik air membasahi bumi Jogjakarta. Kala itu musim penghujan tiba, deras mengguyur tanpa ada belas kasih. Sepintas lalu lalang kendaraan berhenti sejenak untuk menepi. Tak sedikit pula rela menerjang hamparan air, entah karena terdesak atau sekedar bermain-main. Segelintir orang tampak menepikan kendaraanya. Tepat di sudut bangunan tua yang sudah tak terpakai. Salah satu diantaranya tengah sibuk membereskan beberapa kertas lusuh bertuliskan kata-kata. Dengan harapan, kata-kata tersebut kelak mendapat perhatian petinggi untuk merubah keadaan negeri ini. Baginya, kata-kata ini berarti penting, tidak untuk dirinya tetapi juga saudara sebangsanya. Sesekali ia mengepakkan kertas yang basah akibat hujan. Pakaian lusuh yang ia kenakan tak luput untuk sekedar mengeringkan kata-kata sakral bak suara Tuhan.
Sebut saja Rosikin. Meski usia sudah udzhur dan
sudah bau tanah, ia tetap terus menggelontorkan semangat hidup. Badannya yang
kurus, sandangannya tampak usang dipenuhi bercak coklat. Harap maklum, seharian
ini ia berkeliling kota meneriakkan panji-panji revolusi. Sebelum hujan tiba. Dengan
wajah pucat, sambil mengusap, ia terus
membayangkan bagaimana kaum tertindas bisa bangkit melawan kebijakan
kepentingan. Sedangkan para borjuis bersuka cita menikmati hasil kekayaan dan
kekuasaan. Meski orang lain akan menganggap demikian seperti ilusi, tapi tidak
baginya ia tetap berpikir dan memilih jalan mengarungi jalan terjal yang
sesungguhnya belum tentu mendapat hasil. Bergumamlah ia dalam hatinya, ”Setidaknya
aku sudah berjanji untuk menyerahkan sepenuhnya jiwa raga ini untukmu bangsaku.
Sekalipun, harus melewati deburan ombak yang ganas ku harus tetap menahan
derasan air yang keras.”gumamnya
Selang beberapa waktu, hujan masih tetap mengguyur.
Hanya saja, kali ini rintik-rintik masih tetap bersiteguh seakan tak mau
hengkang dari wilayah ini. Beberapa diantaranya mulai berani keluar dari
sangkar hujan. Sedangkan Rosikin masih sibuk berdebat dalam naungan diri, perlu
tidaklah menerjang lautan air. Tentu, jika ia nekat coretan yang telah ia buat
dengan jerih payahnya akan kembali terkotori. Belum lagi, pakaian yang ia
kenakan hanyalah satu-satunya yang bersih. Bahkan ia selalu terpikir akan
rumah. Ingin rasanya segera kembali ke rumah. Desus-desus itu selalu
menghantui, apalagi di saat cuaca seperti ini. Tentu, anak istri akan mencari
dan sibuk menalangi deretan ember-ember akibat titik-titik lubang dari dinding
atap.
Seorang aktivis sekalipun akan berpandangan
demikian. Keresahan yang tiada ujung pangkalnya. Masalahnya, pengrobanan mana
yang akan dia ambil. Nyawapun bisa menjadi taruhan. Pengorbanan harus
dikobarkan tanpa memandang itu penting atau tidak bagi keuntungan pribadi. Begitulah
gambaran catatan seorang aktivis masa lalu. Relevankah untuk saat ini?
Barangkali, pemandangan tersebut berbeda, acapkali bertolakbelakang.
“Memilih jalan banyak pilihan, menjadi seorang
aktivis tidak mudah. Beban moral ada di pundak, meski amanah ini sering
diabaikan oleh sebagian besar orang, bahkan untuk mereka kaum
terpelajar.”rintihnya dalam hati
Aktivis
terpelajar atau pun bukan, bukan menjadi persoalan. Tanggung jawab tetap ada
pada setiap nadi manusia. Menggerakan diri melawan penindasan, kekuasaan, atau
kepentingan. Adalah hal utama yang mutlak untuk dikerjakan. Bukan didiamkan.
Sungguh beban amanat yang besar, lebih besar dari tanggungjawab perseorangan
atau kelompok. Karena menyangkut kemaslahatan umat manusia.
Ia kemudian memberanikan diri berdiri mengayuhkan
sepeda tua yang sudah rapuh, tapi tak serapuh dirinya. Jati diri kuat tertanam
dalam diri. Berkeliling, hilir mudik ditemani rintik hujan, ia terus berjalan
menyuarakan aspirasi. Biarkan hujan ini menjadi saksi bisu akan perjuangan yang
dilakoninya. Kembali ia berharap, kelak hujan bisa membawa pesan, membawa kabar
baik bagi negeri. Ibarat pesan suci yang harus segera disampaikan kepada
leluhur-lelehurnya untuk memperbaiki segala keinginan hamba-Nya.[]
0 Comments:
Posting Komentar